Senin, 21 Maret 2011

Tugas part.II DPP "PERTUSIS " (air borne disease) oleh pak ari wuryanto


PERTUSIS

PENDAHULUAN
            Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough,  dan di Cina disebut batuk seratus hari. Pertusis adalah penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan yang disebabkan oleh Bordetella pertussis, bakteri Gram-negatif berbentuk kokobasilus. Organisme ini menghasilkan toksin yang merusak epitel saluran pernapasan dan memberikan efek sistemik berupa sindrom yang terdiri dari batuk yang spasmodik dan paroksismal disertai nada mengi karena pasien berupaya keras untuk menarik napas, sehingga pada akhir batuk disertai bunyi yang khas.
Sampai saat ini manusia dikenal sebagai satu-satunya tuan rumah dan penularannya melalui udara secara kontak langsung dari droplet penderita selama batuk. Merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat menimbulkan attack rate  sebesar 80-100% pada penduduk yang rentan, dengan pertama kali dikenali pada abad pertengahan (tahun 1640) oleh Guillaume de Baillou dan isolasi B. pertussis sebagai etiologi dilaporkan oleh Bordet dan Gengou pada tahun 1906.
Angka kematian karena pertusis di Amerika Serikat rendah, sekitar 80% kematian terjadi pada anak-anak berumur dibawah 1 tahun, dan 70% terjadi pada anak berumur dibawah 6 bulan. Case Fatality Rate (CFR) di bawah 1% pada bayi dibawah 6 bulan. Angka kesakitan sedikt lebih tinggi pada wanita dewasa disbanding pria. Pada kelompok masyarakat yang tidak diimunisasi, khususnya mereka dengan kondisi dasar kurang gizi dan infeksi ganda pada saluran pencernaan dan pernapasan, pertusis dapat menjadi penyakit yang mematikan pada bayi dan anak-anak. Pneumonia merupakan sebab kematian yang paling sering. Encephalopathy yang fatal, hypoxia dan inanisi karena muntah yang berulang kadang-kadang dapat terjadi.
Akhir-akhir ini di Amerika Serikat, frekuensi remaja dan dewasa muda yang terserang pertusis meningkat dimana gejalanya bervariasi mulai dari ringan, gejala saluran pernapasan yang tidak sampai dengan timbulnya gejala khas pertusis. Banyak juga kasuskasus pertusis terjadi pada orang yang telah diimunisasi sebelumnya, ini menunjukkan terjadinya penurunan imunitas setelah diimunisasi.

MASA INKUBASI
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak.
Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket. Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan:
1.      Tahap kataral
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi) ciri-cirinya menyerupai flu ringan:
• Bersin-bersin
• Mata berair
• Nafsu makan berkurang
• Lesu
• Batuk (pada awalnya hanya timbul di malarn hari kemudian terjadi sepanjang hari).
2.      Tahap paroksismal
Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari setelah timbulnya gejala awal) 5-15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada tinggi. Setelah beberapa kali batuk kembali terjadi diakhiri dengan menghirup nafas bernada tinggi. Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung udara di hidungnya).
Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah. Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat sementara. Pada bayi, apnea (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi dibandingkan dengan tarikan nafas yang bernada tinggi.
3.       Tahap konvalesen
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal) Batuk semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran pernafasan.
MEKANISME PENULARAN
Penyakit Batuk Rejan Atau Pertusis menular melalui droplet batuk dari pasien yg terkena penyakit ini dan kemudian terhirup oleh orang sehat yg tidak mempunyai kekebalan tubuh, antibiotik dapat diberikan untuk mengurangi terjadinya infeksi bakterial yg mengikuti dan mengurangi kemungkinan memberatnya penyakit ini (sampai pada stadium catarrhal) sesudah stadium catarrhal antibiotik tetap diberikan untuk mengurangi penyebaran penyakit ini, antibiotik juga diberikan pada orang yg kontak dengan penderita, diharapkan dengan pemberian seperti ini akan mengurangi terjadinya penularan pada orang sehat tersebut.
ETIOLOGI
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis, adenovirus tipe 1, 2, 3, din 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus gastrointestinalis dan trakturs Benito urinarius. Bordotella pertusis ini mengakibatkan suatu bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak – anak kecil yang ditandai dengan batuk paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang, ” batuk rejan”.
B.pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerobik minotil kecil dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak bergerak. Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis dan kemudian ditanam pada agar media Bordet – Gengou.
Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang tinggi pada gen virulen, dan ada kontroversi (perdebatan) apakah cukup ada perbedaan untuk menjamin klasifikasi sebagai spesies yang berbeda. Hanya Bordetella Pertusis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen yang utama. Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen klabil panas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalah spesifik untuk B.pertusis. serotip bervariasi secara geografis dan sesuai waktu.
B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak sarinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pascapenambahan aerosol, agglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan FIM3), dan protein permukaan nonfimbria 69-kd yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel sel epitel bersilia saluran pernapasan.
Sitotoksin trachea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakea, factor dermonekrotik, dan adenilat siklase diterima secara dominan menyebabkan cedera epitel local yang menghasilkan gejala -gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP.
TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis (misal, sensitivitas histamine, sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik penyakit. TP menyebabkan limfositosis segera pada binatang percobaan dangan pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tanpa memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam pathogenesis.
PATOGENESIS
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme pathogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan local dan akhirnya timbul penyakit sistemik.
Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/ Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertusis, kemudian bermultiplikasidan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyaiu 2 subunit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya berikatan engan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk lifosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkn konsentrasi gula darah.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus ). Penumpukan mucus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru.
Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotic terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.
EPIDEMIOLOGI
Pada masa pravaksin, pertusis menyerang anak prasekolah. Kurang dari 10% kasus terjadi pada bayi usia <1 tahun. Setelah mulai dilakukan imunisasi (tahun 1940), kejadian pertusis menurun drastis, dari 200.000 kasus/tahun menjadi 1.010 kasus pada tahun 1976. Sejak itu, imunisasi pertusis dianggap memiliki kemampuan perlindungan seumur hidup, sehingga tidak perlu diproduksi vaksin pertusis untuk usia >7 tahun.
Mulai tahun 1980 ditemukan peningkatan kejadian pertusis pada bayi, usia 11-18 tahun, dan dewasa, dengan cakupan imunisasi pertusis rutin yang luas. Centers of Disease Control and Prevention (CDC) (tahun 2004) melaporkan 25.827 kasus pertusis di AS, suatu angka yang tinggi sejak tahun 1950-an dengan proporsi 35% kejadian pada usia 11-18 tahun (30 per 100.000). Angka yang jauh lebih tinggi diperlihatkan oleh sebuah penelitian prospektif terhadap individu dengan gejala batuk paroksismal atau batuk yang menetap >7 hari, ternyata didapatkan perkiraan insidens pertusis pada remaja sekitar 997 per 100.000.
Kejadian luar biasa pertusis dialami Massachusett (1996) dengan 67% kasus berusia 10-19 tahun, kemudian Wisconsin (2002-2003) sebesar 313 kasus dengan 70% berusia 10-19 tahun. 
Remaja merupakan reservoir B. Pertussis dan menjadi sumber penularan pertusis bagi bayi kecil, golongan risiko tinggi untuk mengalami komplikasi pertusis, menjalani perawatan di Rumah Sakit, dan mengalami kematian. Sebuah studi kasus-kontrol menunjukkan adanya faktor risiko terjadinya pertusis pada bayi saat timbulnya kejadian luar biasa di Chicago. Rasio odds sebesar 7,4 bila usia ibu 15-19 tahun dan 13,9 bila ibu batuk >7 hari. Hal yang menarik disimpulkan dari penelitian tersebut, bahwa usia ibu yang lebih tua tidak dapat teridentifikasi sebagai faktor risiko terjadinya pertusis.
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung dalam tiga stadium, yaitu stadium kataralis (prodromal,pra paroksismal), stadium akut paroksismal (spasmodik), dan stadium konvalesens. Manifestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, usia, dan status imunisasi.
Pertusis pada remaja dapat dikenali dengan gejala sebagai berikut: 72-100%  batuk paroksismal, susah tidur dan sesak, 50-70% muntah setelah abtuk, 30-65% mengalami whoop, 1-2% rawat inap karena pneumonia atau fraktur tulang iga, dan 0,2-1% kejang atau penurunan kesadaran. Laporan dari Kanada menunjukkan manifestasi batuk hingga >3 minggu bahkan 47% mengalami batuk >9 minggu. Di AS, rata-rata batuk akibat pertusis 3,4 bulan setelah munculnya gejala. Sehingga bukanlah hal yang jarang, bila petugas kesehatan terlambat mengenali pertusis pada remaja. Beberapa penelitian prospektif memperlihatkan bahwa bila remaja berobat akibat batuk nonspesifik >1 minggu, kemungkinan akibat pertusis sekitar 13-20% dengan hampir 20% tidak memperlihatkan manifestasi paroksismal, whoop, atau muntah setelah batuk. Dengan demikian, remaja diyakini memiliki peranan penting pada penyebaran pertusis pada bayi baru lahir dan anak. Kesulitan mengenali gejala pada awal timbulnya penyakit, meningkatkan angka penularan dan keterlambatan memberikan profilaksis.
Berikut ini adalah gejala klasik dari pertusis:
Ø  Stadium kataralis (1-2 minggu)
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu timbulnya rinore dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan, dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditegakkan karena sukar dibedakan dengan common cold. Sejumlah besar organisme tersebar dalam droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman mudah diisolasi
Ø  Stadium paroksismal/stadium spasmodik
Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop), udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada remaja, bunyi whoop sering tidak terdengar. Selama serangan wajah merah dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi petekia di wajah (terutama di konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga seringkali menjadi kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop.
Ø  Stadium konvalesens ( 1-2 minggu)
Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2-3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.

GEJALA DAN TANDA
Penyakit Batuk Rejan Atau Pertusis biasanya dimulai dengan gejala ISPA ringan seperti batuk, bersin dan cairan hidung keluar terus menerus (pada stadium catarrhal) kemudian sesudah 1 minggu sampai 2 minggu dilanjutkan dengan batuk yg terus menerus namun diikuti masa dimana ada jeda batuk (stadium paroxysmal). Batuk ini mungkin dapat diikuti dengan adanya muntah, hal ini disebabkan rasa mual yg diderita, dan pada anak kecil dimana reflek fisiologis yg belum terbentuk secara sempurna maka akan menimbulkan muntah, hal ini tidak jarang membawa ke arah malnutrisi. Batuk ini dapat di picu oleh menguap, tertawa atau berteriak, dan akan berkurang sesudah 1 sampai 2 bulan. Komplikasi yg dapat mengikuti keadaan ini adalah pneumonia, encephalitis, hipertensi pada paru, dan infeksi bakterial yg mengikuti.

DIAGNOSIS PENYAKIT PERTUSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas. Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi. Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisis tergantung dari stadium saat pasien diperiksa.
 Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000-50.000/μL dengan limfosistosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah lekositosis tidak menolong untuk diagnosis, oleh karena respons limfositosis juga terjadi pada infeksi lain. Isolasi B. pertussis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertusis pada media khusus Bordet-gengou. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal  94% pada minggu ke-3, dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya.
Dengan metode PCR yang lebih sensitif dibanding pemeriksaan kultur untuk mendeteksi B. pertussis, terutama setelah 3-4 minggu setelah batuk dan sudah diberikan pengobatan antibiotik. PCR saat ini merupakan pilihan yang paling tepat karena nilai sensitivitas yang tinggi, namun belum tersedia. Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap FHA dan PT. Nilai  IgM serum  FHA dan PT menggambarkan respons imun primer baik disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis. Pemeriksaan lainnya yaitu foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis,  atau empisema.

CARA PENCEGAHAN
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis dengan adanya pelaksanaan program imunisasi. Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi aktif dan pasif.
Ø  Imunisasi pasif
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin, ternyata berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif sehingga akhir-akhir ini tidak lagi digunakan untuk pencegahan.
Ø  Imunisasi aktif
Remaja usia 11-18 tahun (terutama usia 11-12 tahun) harus mendapat dosis tunggal Tdap 0,5 mL i.m. di daerah m. deltoideus. Kontraindikasi bila terdapat riwayat reaksi anafilaksis terhadap komponen vaksin dan ensefalopati (koma, kejang lama) dalam 7 hari pemberian vaksin pertusis.
Pencegahan penyebarluasan penyakit dilakukan dengan cara:
Ø  Isolasi:  mencegah kontak dengan individu yang terinfeksi, diutamakan bagi bayi dan anak usia muda, sampai pasien setidaknya mendapatkan antibiotik sekurang-kurangnya 5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap. Atau 3 minggu setelah batuk paroksismal reda bilamana pasien tidak mendapatkan antibiotik.
Ø  Karantina:   kasus kontak erat terhadap kasus yang berusia <7 tahun, tidak diimunisasi, atau imunisasi tidak lengkap, tidak boleh berada di tempat publik selama 14 hari atau setidaknya mendapat antibiotic selama 5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap.
Ø  Disinfeksi: direkomendasikan untuk melakukan pada alat atau ruangan yang terkontaminasi sekret pernapasan dari pasien pertusis .c2.
PENGOBATAN
Jika penyakit Batuk Rejan Atau Pertusis berat, penderita biasanya dirawat di rumah sakit. Mereka ditempatkan di dalam kamar yang tenang dan tidak terlalu terang. Keributan bisa merangsang serangan batuk. Bisa dilakukan pengisapan lendir dari tenggorokan. Pada kasus yang berat, oksigen diberikan langsung ke paru-paru melalui selang yang dimasukkan ke trakea. Untuk menggantikan cairan yang hilang karena muntah dan karena bayi biasanya tidak dapat makan akibat batuk, maka diberikan cairan melalui infus. Gizi yang baik sangat penting, dan sebaiknya makanan diberikan dalam porsi kecil tetapi sering. Untuk membasmi bakteri, biasanya diberikan antibiotik eritromycin.
PENGAWASAN PENDERITA, KONTAK DAN LINGKUNGAN SEKITAR
1)      Laporan kepada instansi kesehatan setempat
Laporan adanya kasus wajib dilakukan di semua negara bagian di AS dan sebagian besar negara-negara di dunia. Laporan dini memungkinkan dilakukan penanggulangan KLB yang lebih baik.
2)      Isolasi
Untuk kasus yang diketahui dengan pasti dilakukan isolasi saluran pernapasan. Untuk tersangka kasus segera dipindahkan dari lingkungan anak-anak kecil dan bayi, khususnya dari bayi yang belum diimunisasi, sampai dengan penderita tersebut diberi paling sedikit 5 hari dari 14 hari dosis antibiotika yang harus diberikan. Kasus tersangka yang tidak mendapatkan antibiotika harus diisolasi paling sedikit selama 3 minggu.
3)      Disinfeksi serentak
Disinfeksi dilakukan terhadap discharge dari hidung dan tenggorokan, serta barang-barang yang dipakai penderita. Pembersihan menyeluruh.
4)      Karantina
Lakukan karantina terhadap kontak yang tidak pernah diimunisasi atau yang tidak diimunisasi lengkap. Mereka tidak diijinkan masuk sekolah, atau berkunjung ke tempat penitipan anak atau tidak diijinkan berkunjung ke tempat dimana banyak orang berkumpul. Larangan tersebut berlaku sampai dengan 21 hari sejak terpajan dengan penderita atau sampai dengan saat penderita dan kontak sudah menerima antibiotika minimal 5 hari dari 14 hari yang diharuskan.
5)      Perlindungan terhadap kontak
Imunisasi pasif tidak efektif dan pemberian imunisasi aktif kepada kontak untuk melindungi terhadap infeksi setelah terpajan dengan penderita juga tidak efektif. Kontak yang berusia dibawah 7 tahun dan yang belum mendapatkan 4 dosis DTaP/DTP atau yang tidak mendapat DTaP/DTP dalam 3 tahun terakhir harus segera diberikan suntikan satu dosis setelah terpapar. Dianjurkan pemberian erythromycin selama 14 hari bagi anggota keluarga dan kontak dekat tanpa memandang status imunisasi dan umur.
6)      Penyelidikan terhadap kontak dan sumber infeksi
Lakukan pencarian kasus secara dini, cari juga kasus yang tidak dilaporkan dan kasus-kasus atipik. Oleh karena bayi-bayi dan anak tidak diimunisasi mempunyai risiko tertular.
7)      Pengobatan spesifik
Pengobatan dengan erythromycin memperpendek masa penularan, namun tidak mengurangi gejala kecuali bila diberikan selama masa inkubasi, pada stadium kataral atau awal stadium paroxysmal.
CARA PENAGGULANGAN
      Lakukan pencarian kasus yang tidak terdeteksi dan yang tidak dilaporkan untuk melindungi anak-anak usia prasekolah dari paparan dan agar dapat  diberikan perlindungan yang adekuat bagi anak-anak usia di bawah 7 tahun yang terpapar. Akselerasi pemberian imunisasi dengan dosis pertama diberikan pada umur 4-6 minggu, dan dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4 minggu, mungkin diperlukan; bagi anak-anak yang imunisasinya belum lengkap, sebaiknya dilengkapi.
KENDALA DALAM PEMBERANTASAN
1.      Sosial ekonomi masyarakat
2.      Perilaku dan peran serta masyarakat
DAFTAR PUSTAKA

 SARI ANDRIYANI
E2A009037

Sabtu, 19 Maret 2011

TUGAS DPP PART.I PAK ARI WURYANTO (FOOD & WATER BORNE DISEASE)


Demam Tifoid 


PENDAHULUAN 
          Demam Tifoid adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Demam tifoid merupakan penyakit endemis di beberapa Negara berkembang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.Angka kesakitan demam tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2 diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 % pada tahun 1981 sampai dengan 1986. Angka kematian akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 3,3 % pada tahun 1978. Selain itu beberapa peneliti juga melaporkan adanya kecenderungan terjadinya peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk terapi demam tifoid. Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anak-anak. Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi klinis yang ringan.
    Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.
          Angka kematian penyakit demam tifoid di negara sedang berkembang berkisar antara 2,3 – 16,8 %,sedang hasil survai rumah sakit di indonesia sebesar 3,4%.Penyebab utama kematian penderita adalah perdarahan dan perforasi intestinal. Angka kejadian komplikasi ini berfariasi, masing – masing 1-8% untuk perdarahan intestinal dan 1-5% untuk perforasi intestinal,sedangkan angka kematiannya juga bervariasi yaitu 0,5 – 2,5 % ( perdarahan intestinal ) dan 0,8-2,7% (perforasi intestinal). Tingginya angka kematian sangat tergantung dari beberapa faktor,diantaranya adalah:
    ·         Kelambatan pada tindakan penanganan
    ·         Dosis obat kurang adekuat
    ·         Status gizi kurang
    ·         Keadan umumpenderita waktu datang
    ·         Adanya penyakit penyerta
    ·         Adanya komplikasi

    1.  MEKANISME PENULARAN
    Bakteri tifoid ditemukan di dalam tinja dan air kemih penderita. Penyebaran bakteri ke dalam makanan atau minuman bisa terjadi akibat pencucian tangan yang kurang bersih setelah buang air besar maupun setelah berkemih, Lalat juga bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke makanan. Bakteri Salmonella typhi masuk ke dalam saluran pencernaan dan bisa masuk ke dalam peredaran darah. Hal ini akan diikuti oleh terjadinya peradangan pada usus halus dan usus besar. Pada kasus yang berat, yang bisa berakibat fatal, jaringan yang terkena bisa mengalami perdarahan dan perforasi (perlubangan). Sekitar 3% penderita yang terinfeksi oleh Salmonella typhi dan belum mendapatkan pengobatan, di dalam tinjanya akan ditemukan bakteri ini selama lebih dari 1 tahun. Beberapa dari pembawa bakteri ini tidak menunjukkan gejala-gejala dari demam tifoid. Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya. Untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmas. 

    ETIOLOGI
      Kuman penyebab utama adalah Salmonella typhi yang berhasil diisolasi pertama kali pada tahun 1880 oleh Ebert, sehingga sering dikaenal dengan sebutan “Eberthela typhosa”.(Christic,1980). Salmonella typhi adalah kuman gram negative, bentuk tipis, pendek, ukuran 2-4 x 0,5 mikron, tidak bersepora,bersifat aerob,mempunyai cambuk sehingga dapat bergerak,tidak menyebabkan fermentasi laktosa dan glukosa serta mudah dibiakkan pada biakan sederhana.(Felsen, 1951;Kafiludin 1973 ).
      Diluar tubuh manusia kuman mudah mati,misalkan tidak tahan terhadap sinar matahari, tetapi dapat bertahan pada keadaan dingin (es). Titik matinya pada media basah di air dan susu pada temperature sekitar 60 derajat celcius atau 140 derajat Fahrenhet ( Christic,1980 ;Kafiludin 1973 ).
      Pada keadaan kering sebagian besar kuman akan mati dalam beberapa jam dan amat jarang dapat bertahan hidup sampai satu bulan.Dengan desinfektan kuman S.thypi juga langsung terbunuh bila kontak dengan bahan tersebut. Pada gumpalan massa feses kuman terlindungi dan dapat hidup lama,kecuali bila ada penetrasi desinfektan.Organisme dapat hidup di dalam kakus selama beberapa hari ( 12 hari ), di dalam septi tank dapat bertahan selama 14 hari ( Hook,1997 ).
      Salmonella typhi jarang hidup pada air bersih dari 7 hari dan sering mati dalam waktu 48 jam; tumbuh subur pada susu segar, tapi hancur bila asiditas menjadi lebih tinggi ; pada ice crean dapat bertahan hidup sampai satu bulan.
        EPIDEMIOLOGI
        Insiden penyakit demam tifoid bervariasi dari tempat satu ke tempat yang lainnya dari waktu ke waktu,tersebar hamper keseluruh dunia.Di masyarkat dengan standar hidup dan hygiene yang sudah tinggi biasanya kejadian hanya secara sporadis, walaupun kadang-kadang ada letusan terlokalisasi yang berkembang,akibat penyediaan air minum dan atau susu yang terkontaminasi oleh kuman.
        Pada masyarakat dengan standar hidup dan hygiene rendah,penyakit ini cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya insidensi tinggi pada daerah tropic dibandingkan dengan daerah berhawa dingin.
        Epidemic demam tipoid biasanya terjadi akibat makanan yang terkontaminasi oleh kuman S.typhi yang mungkin didapat dari daerahendemik atau penyediaan air minum yang kurang higienis.
        “Endemik tifoid “ sering terjadi di Negara-negara Afrika,Asia,dan Amerika Tengah dan Selatan.Di Afrikan Adams (1984) mendaoatkan 1 di antara 100 penderita yang datang di poliklinik,di rumah sakit yang sama sebanyak 1,5 % penderita golongan anak masuk dengan diagnosis demam tifoid.
        Di Negara maju terutama di kota-kota metropolitan dengan krhidupan modern,biasanya hamper bebas dari penyakit ini,bila ada kasus di rumah sakit umum,mayoritas penderita berasal dari perumaghan yang kumuh, pedesaan dengan sanitasi dan penyediaan air minum yang kurang memenuhi syarat kesehatan.Di Negara berkembang insidens demam tifoid lebih tinggi di bandingkan Negara maju.Di Indonesia sendiri menurut data Sub Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular Departemen Kesehatan tidak ada satu profinsi yang bebas dari penyakit demam tifoid.
        DISTRIBUSI JENIS KELAMIN
        Antara pria dan wanita pada kasus demam tifoid tidak ada perbedaan,tetapi pria lebih banyak terpapar dengan kuman S.typhi dibandingkan dengan wanita, karena aktifitas di luar rumah lebih banyak,hal ini memungkinan pria mendapatkan resiko lebih besar untuk menderita penyakit demam tifoid dibandingkan dengan wanita (Hook, 1973).
        Tetapi sebaliknya keadaan seorang “carier” kronik,biasanya lebih tinggi pada wanita, yang dinyatakan dengan perbandingan 3 : 1, sebagian besar ( 88 % )terdiri kelompok umur diatas 50 tahun (Hook, 1973; Saito,1975).
        DISTRIBUSI UMUR
        Yang paling banyak tertular penyakit demam tifoid adalah golongan umur dewasa muda.Insiden      pada golongan anak dan orang tua relative kecil,bahkan pada umur di atas 70 tahun sangat jarang.
        Sebagian besar penderita demam tifoid pada umumnya berumur antara 15 – 30 tahun yaitu 80 %, hal ini sesuai dengan laporan beberapa peneliti antara lain; Darmawan ( 1975) Sumarsono (1978)di Jakarta.
        VARIASI MUSIM
        Insiden penyakit demam tifoid tidak dipengaruhi oleh musim, tetapi di daerah diman demam tifoid menjadi endemic insiden akan meningkat pada bulan- bulan tertentu,biasanya akan meningkat pada musim panas.
        Di Indonesia sendiri akan meningkat kasusnya pada musim kemarau panjang atau dapat juga pada musim hujan hal ini sering dihubungkan dengan meningkatnya populasi lalat pada musim tersebut dan penyediaan air bersih yang kuarng bagi masyarakat.
        GEJALA DAN TANDA 
                 Biasanya gejala mulai timbul secara bertahap dalam waktu 8-14 hari setelah terinfeksi. Gejalanya bisa berupa demam, sakit kepala, nyeri sendi, sakit tenggorokan, sembelit, penurunan nafsu makan dan nyeri perut. Kadang penderita merasakan nyeri ketika berkemih dan terjadi batuk serta perdarahan dari hidung. Jika pengobatan tidak dimulai, maka suhu tubuh secara perlahan akan meningkat dalam waktu 2-3 hari, yaitu mencapai 39,4-40°C selama 10-14 hari. Panas mulai turun secara bertahap pada akhir minggu ketiga dan kembali normal pada minggu keempat. Demam seringkali disertai oleh denyut jantung yang lambat dan kelelahan yang luar biasa. Pada kasus yang berat bisa terjadi delirium, stupor atau koma. Pada sekitar 10% penderita timbul sekelompok bintik-bintik kecil berwarna merah muda di dada dan perut pada minggu kedua dan berlangsung selama 2-5 hari
          . 
          DIAGNOSIS PENYAKIT DEMAM TIFOID
            Untuk ke akuratan dalam penegakan diagnosa penyakit, dokter akan melakukan beberapa pemeriksaan laboratorium diantaranya pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan Widal dan biakan empedu.
            1.             Pemeriksaan darah tepi merupakan pemeriksaan sederhana yang mudah dilakukan di laboratorium sederhana untuk membuat diagnosa cepat. Akan ada gambaran jumlah darah putih yang berkurang (lekopenia), jumlah limfosis yang meningkat dan eosinofilia.
            2.             Pemeriksaan Widal adalah pemeriksaan darah untuk menemukan zat anti terhadap kuman tifus. Widal positif kalau titer O 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan progresif.
            3.             Diagnosa demam Tifoid pasti positif bila dilakukan biakan empedu dengan ditemukannya kuman Salmonella typhosa dalam darah waktu minggu pertama dan kemudian sering ditemukan dalam urine dan faeces.
            Sampel darah yang positif dibuat untuk menegakkan diagnosa pasti. Sample urine dan faeces dua kali berturut-turut digunakan untuk menentukan bahwa penderita telah benar-benar sembuh dan bukan pembawa kuman (carrier).
            Sedangkan untuk memastikan apakah penyakit yang diderita pasien adalah penyakit lain maka perlu ada diagnosa banding. Bila terdapat demam lebih dari lima hari, dokter akan memikirkan kemungkinan selain demam tifoid yaitu penyakit infeksi lain seperti Paratifoid A, B dan C, demam berdarah (Dengue fever), influenza, malaria, TBC (Tuberculosis), dan infeksi paru (Pneumonia).

             KOMPLIKASI DEMAM TIFOID
              Komplikasi yang sering dijumpai pada anak penderita penyakit demam tifoid adalah perdarahan usus karena perforasi, infeksi kantong empedu (kolesistitis), dan hepatitis. Gangguan otak (ensefalopati) kadang ditemukan juga pada anak

              CARA PENCEGAHAN
              Pencegahan penyakit demam Tifoid bisa dilakukan dengan cara perbaikan higiene dan sanitasi lingkungan serta penyuluhan kesehatan. Imunisasi dengan menggunakan vaksin oral dan vaksin suntikan (antigen Vi Polysaccharida capular) telah banyak digunakan. Saat ini pencegahan terhadap kuman Salmonella sudah bisa dilakukan dengan vaksinasi bernama chotipa (cholera-tifoid-paratifoid) atau tipa (tifoid-paratifoid). Untuk anak usia 2 tahun yang masih rentan, bisa juga divaksinasi

              HAMBATAN DALAM PEMBERANTASAN
                  1.      Sosial ekonomi masyarakat
                  2.      Perilaku dan peran serta masyarakat
                  DAFTAR PUSTAKA
                  Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit Tropis, edisi 1. Jakarta : BP FKUI, 2002:367-75.
                  Cleary TG. Salmonella. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Eds. Nelson Textbook of Pediatrics, edisi 16. Philadelphia : WB Saunders, 2000:842-8.
                  Felsen J: The Salmonella infectin, in textbook of Internal Med.its theory and practice,8th ed.philadelphia,Lea febiger, 1951;162-78
                  Hadisaputro, soeharyono.1990.Beberapa Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi Usus Pada Demam Tifoid.Semarang
                  Hook EW.:typhoid fever today,New Engl.j.of Med.1984;116-8

                  Kafiludin AKm, and Ahmed n.: Epidemiology of Typhoid an paratyphoid fever in Modern Epidemiologi. 1 st Banglades co. Book soc. Ltd. 125,Motijheel comircheal area Dacca-2,308-17,1973.
                  Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam : Kumpulan Naskah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Jakarta : BP FKUI, 2001:65-73.
                  Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.
                  Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002;347(22):1770-82.

                  SARI ANDRIYANI
                  E2A009037
                  REG-1
                  FKM UNDIP